Sigalovada Sutta
Sigalovada Sutta adalah kotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha kepada pemuda yang bernama Sigala.
Sigalovada Sutta dibabarkan Sang Buddha di kota Rajagaha, di sebuah hutan Bambu.
Sigala adalah seorang pemuda yang tidak mau mendengar kata orang tuanya.
Sebelum
meninggal dunia ayahnya berpesan agar di waktu pagi hari sebelum
matahari terbit, Sigala harus membasahi rambut dan pakaiannya lalu
menyembah ke berbagai arah bumi dan langit.
Setelah ayahnya meningal dunia Sigala melakukan nasihat ayahnya.
Pagi-pagi sekali Sigala ke sungai membasahi Rambut dan pakaiannya.
Sigala lalu menyembah enam arah yaitu arah Timur, arah Barat, arah Utara, arah Selatan, arah Bawah dan arah Atas.
A. Isi Sigalovada Sutta
Pada
waktu Sigala sedang menyembah keenam arah, ia bertemu dengan Sang
Buddha, Sang Buddha kemudian menasehatinya, bahwa cara yang dilakukan
itu tidak benar.
Sigala menyembah 6 arah dengan maksud :
Arah Timur berarti menghormat kepada ayah dan ibu
Arah Selatan berarti menghormat kepada Guru
Arah Barat berarti menghormat kepada istri dan anak
Arah Utara berarti menghormat kepada sahabat atau teman
Arah Atas berarti menghormat kepada pertapa atau Brahmana
Arah Bawah berarti menghormat kepada pelayan atau buruh
Sang Buddha meluruskan pandangan dan pengertian Sigala tentang cara menghormat yang benar.
Sang
Buddha menjelaskan bahwa hidup adalah saling bergantungan. Kita tidak
dapat hidup sendiri, selalu bergantung kepada orang lain. Dan memerlukan
bantuan dan pertolongan orang lain. Oleh karena itu kita harus
menjauhkan diri dari sifat sombong, tinggi hati dan mementingkan diri
sendiri. Kita hendaknya hidup saling mengasihi, karena semua manusia
ingin hidup bahagia.
B. Kewajiban Anak terhadap orang tua
Saat
ini kita dapat hidup di dunia ini, dapat bermain, bersekolah, dan
lain-lain karena ada orang yang berjasa pada kita yaitu orang tua kita.
Ayah
dan ibu telah bekerja keras untuk kebahagian kita, kita tidak boleh
melupakan jasa orang tua kita. Orang tua telah merawat kita, memelihara
kita, membesarkan kita, mendidik kita, karena orang tua kita ingin
anak-anaknya maju dan hidup bahagia. Orang tua telah berkorban demi
kita, kita banyak berhutang budi kepada orang tua. Kasih sayang orang
tua sangat besar pada kita. Kita harus dapat membalas jasa kebajikan
orang tua kita.
Menjadi anak yang baik, patuh kepada orang tua,
mendengarkan nesihat orang tua, tidak membenci kala orang tua bersalah,
berbicara sopan, mudah dilayani adalah salah satu cara membalas budi
orang tua kita.
Menurut Sigalovada Sutta, seorang anak mempunyai 5
(lima) macam kewajiban yang harus dilakukan terhadap orang tuanya. Lima
kewajiban itu adalah :
1. Merawat orang tua ketika mereka telah lanjut usia.
2. Membantu menyelesaikan urusan orang tua
3. Menjaga kehormatan keluarga dengan baik
4. Menjaga warisan keluarga dengan baik
5. Melakukan perbuatan baik pada orang tua yang telah meninggal
Kisah Burung Nuri Muda
Terdapat
suatu kisah seekor burung Nuri yang dibesarkan oleh kedua orang tuanya.
Dengan kasih sayangnya setiap pagi orang tua burung Nuri selalu
bergantian menjaga dirinya, jika ayahnya pergi mencari makanan, maka
ibunya yang menjaganya. Jika ibunya pergi mencari makanan maka ayahnya
menjaganya dengan penuh kasih sayang. Setelah cukup umur dan kuat si
Nuri kecil diajarkan untuk terbang dan mencari makan. Demikianlah hal
ini berlangsung dalam waktu lama hingga Si Nuri tumbuh menjadi seekor
burung yang gagah dan kuat, sedangkan kedua orang tuanya telah tua dan
tidka mampu terbang lagi. Kedua orang tuanya tinggal di atas sebatang
pohon pada sebuah sarang. Setiap pagi si Nuri muda pergi mencari
makanan, dia menemukan ladang padi petani yang subur. Setiap habis makan
ia selalu membawa setangkai padi untuk diberikan kepada kedua orang
tuanya. Pada suatu hari si Nuri ditangkap oleh penjaga ladang dan
diserahkan kepada petani. Lalau si nuri ditanya oleh petani itu :
“Mengapa kamu selalu membawa biji-biji padi itu dari ladangku”. Si Nuri
Muda menjawab : “Tugasku adalah membawa makanan untuk kedua orang tuaku
yang sudah tua dan tidak dapat terbang lagi”. Petapi mengerti perbuatan
si Nuri itu, lalu dibiarkannya burung itu pergi dan membawa biji-biji
padinya.
Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak
Anak yang baik
tidak akan menyakiti orang tuanya. Karena orang tua telah banyak
berkorban harta, tenaga, waktu dan pikiran untuk membesarkan
anak-anaknya. Orang tua mempertaruhkan nyawanya ketika ia melahirkan.
Menghabiskan harta benda untuk mendidik aank-anaknya. Ia rela menahan
haus dan lapar agar anaknya dapat tumbuh sehat dan kuat. Orang tua akan
bersedih ketika melihat anaknya mengalami kesulitan.
Tanggung
jawab orang tua kepada anak sangatlah besar. Lima kewjiban yang harus
dipenuhi oleh orang tua terhadap anak-anaknya adalah :
1. Mencegah anaknya berbuat jahat
2. Mengajarkan anak-anaknya berbuat baik
3. Memberikan pendidikan dan latihan pekerjaan pada anak-anaknya
4. Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak-anaknya
5. Menyerahkan warisan tepat pada waktunya.
Orang
tua sangat mengharapkan anak menjadi anak yang baik, berbudi luhur,
dapat berguna bagi keluarga, agama, masyarakat, bangsa dan negara.
Kisah kelahiran Ajatasattu.
Dahulu
kala hiduplah seorang raja bijaksana yang bernama Bimbisara. Istrinya
bernama Kusala Dewi. Pada awal kemahilannya Ratu Kusala Dewi merasakan
sesuatu yang aneh dalam dirinya, sesuatu yang tidak biasanya diinginkan
oleh seseorang yang hamil muda. Pada umumnya orang yang hamil muda ingin
makanan yang bersifat asam atau makanan yang disukainya, akan tetapi
ratu Kusala Dewi ingin minum darah dari Raja Bimbisara. Lama keinginan
sang ratu dipendamnya hingga tubuhnya menjadi kurus. Raja Bimbisara
menyadari perubahan yang terjadi pada diri ratu Kusala Dewi, maka raja
menanyakannya, tetapi sang ratu selalu mengelak dan membohongi sang Raja
bahwa tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Raja Bimbisara tidak mau
menyerah begitu saja dan terus mendesak agar ratu Kusala dewi mau
mengutarakan niatnya. Akhirnya dikatakanlah keinginannya itu, untuk
meminum darah Raja Bimbisara. Dengan senang hati Raja Bimbisara memenuhi
permintaan istrinya. Beberapa hari kemudia Raja Bimbisara memanggil
seorang peramal untuk meramalkan bayinya. Sang peramal meramalkan bahwa
bayi itu akan menjadi musuh ayahnya. Mendengar ramalan itu ratu Kusala
Dewi berniat menggugurkan kandungannya, namun niat itu dicegah oleh raja
Bimbisara dan lahirlah seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama
Ajatasattu yang berarti musuh yang belum lahir. Raja Bimbisara dan ratu
Kusala Dewi sangat mencintai puteranya. Pada suatu hari Ajatasattu
menangis dan tidak mau terdiam, karena ditangannya tumbuh penyakit bisul
yang kian hari kian membesar. Melihat anaknya menangis terus menerus
raja Bimbisara kemudian memeluknya dan menghisap bisul yang telah
membesar itu, bisul itu lalu pecah didalam mulut raja Bimbisara, darah
dan nanah juga ikut ditelannya (bersambung)
C. Kewajiban SiswaTerhadap Guru
Kita
bisa membaca, menulis dan berhitung, jadi pintar, punya ketrampilan
karena jasa seorang guru, oleh karena itu sudah sewajarnya jika kita
menghormati guru kita. Bapak dan ibu guru telah memberikan pengetahuan
kepada kita, membimbing kita dan mendidik kita untuk menjadi anak yang
baik, pintar dan berbudi luhur.
Sang Buddha adalah Guru Agung
kita, Sang Buddha sangat mencintai siswa-siswanya. Dengan cinta kasih
dan kasih sayangnya, siswanya dibimbing dan diajarkan agar memperoleh
kebahagiaan seperti diri-Nya, agar siswanya terbebas dari penderitaan.
Sang Buddha senantiasa menunjukkan hal-hal yang pantas dilakukan dan
yang tidak pantas dilakukan, menunjukkan hal-hal yang baik dan hal-hal
yang tidak baik, semuanya demi kebahagiaan siswanya bukan untuk
keuntungan dirinya sendiri.
Guru yang baik tidak akan merahasiakan sesuatu yang diketahuinya.
Murid yang baik akan :
1. Mendengarkan dengan baik ketika guru menerangkan
2. Mengerjakan tugas-tugas yang diberikan
3. Menanyakan sesuatu yang belum jelas
Seorang siswa mempunyai lima macam kewajiban terhadap gurunya :
1. Memberikan penghormatan kepada guru
2. Melayani gurunya
3. Bertekad kuat untuk belajar
4. Memberikan jasa-jasanya
5. Memperhatikan dengan baik sewaktu diberi pelajaran.
Sikap-sikap yang harus dihindari seorang siswa terhadap gurunya antara lain :
1. Menghina atau mencela guru
2. Mengejek guru
3. Membuat gaduh waktu pelajaran
4. Melukai guru baik dengan ucapan atau dengan perbuatan
HARI RAYA AGAMA BUDDHA
Umat
Buddha memiliki 4 (empat) hari besar yang diperingati setiap tahun.
Empat hari besar itu adalah hari raya Magha Puja, Waisak, Asadha dan
Kathina.
1. Hari Raya Magha Puja
Hari raya Magha Puja diperingati antara bulan Februari-Maret.
Hari
raya Magha Puja memperingati 4 (empat) peristiwa besar yang terjadi di
Veluvana (hutan Bambu). Empat peristiwa tersebut adalah :
a. Berkumpulnya 1250 bikhhu Arahat (tingkat kesucian tertinggi)
b. Semuanya tahbiskan sendiri oleh Sang Buddha
c. Mereka datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu
d.
Sang Buddha mengajarkan Ovada patimoka yang merupakan inti ajaran para
Buddha yang berbunyi : “JANGANLAH BERBUAT JAHAT, PERBANYAKLAH PERBUATAN
BAIK, SUCIKAN PIKIRAN, ITULAH INTI AJARAN BUDDHA”
2. Hari Raya Waisak
Hari raya Waisak diperingati antara bulan Mei-Juni.
Hari
raya waisak memperingati tiga peristiwa penting yang terjadi pada bulan
Waisak, saat purnama sidhi (bulan terang). Tiga peristiwa itu adalah :
a. Lahirnya bodhisatva Sidharta di Taman Lumbini
b. Pertapa Sidharta menjadi Buddha di Buddha Gaya
c. Sang Buddha meninggal dunia di Kusinara
Hari
raya Waisak ini biasa disebut Buddha Day dan diperingati oleh umat
Buddha di seluruh dunia. Perayaan Waisak dilakukan umat Buddha untuk
mengenang kembali jasa-jasa Sang Buddha yang telah berjuang dengan
usahanya sendiri untuk menolong manusia dari penderitaan. Juga untuk
mengingatkan bahwa pernah ada manusia suci, yang agung dan bijaksana
lahir di dunia ini. Peringatan Waisak juga bertujuan meningkatkan
keyakinan terhadap Sang Buddha dan ajaran-Nya. Pada Perayaan waisak kita
memuji Buddha dengan mengucapkan Namo Buddhaya. Hari raya waisak
sebagai hari libur nasional sejak tahun 1983, upacara untuk perayaan
secara nasional di pusatkan di candi Mendut dan Borobudur.
3. Hari Raya Asadha
Hari raya Asadha diperingati antara bulan Juli-Agustus setiap tahunnya.
Hari
raya Asadha dikenal sebagai hari Pemuaran Roda Dhamma yang Pertama,
yaitu pertama kali Sang Buddha mengajarkan ajarannya kepada lima orang
Pertapa, di Taman Rusa Isipatana, di Benares. Lima orang pertapa itu
adalah Kondanna, Badhiya, Vappa, Assaji dan Mahanama. Pemutaran Roda
Dhamma yang pertama dikenal dengan sebutan DHAMMA CAKKA PAVATANA SUTTA”.
Inti kotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha adalah menghindari 2
(dua) hal yang ekstrim yaitu pemuasan nafsu keinginan indria dan
penyiksaan diri. Karena dua hal itu tidak memberikan manfaat untuk
mencapai kesucian. Pada hari Asada kita memuji Dhamma dengan mengucapkan
Namo Dhammaya artinya terpujilah dhamma
4. Hari raya Kathina
Hari Raya Kathina diperingati antara bulan Oktober-November.
Di
dalam upacara Katina, umat mempersembahkan dana kepada sangha, dan para
bhikkhu yang mewakili sangha untuk menerima persembahan dana dari umat,
tidak boleh kurang dari 4 orang bhikkhu. Upacara Kathina yang
sesungguhnya tidak boleh kurang dari 5 orang bhikkhu. Ada beberapa
syarat suatu upacara Kathina yang sesungguhnya, yaitu:
a. Upacara Kathina hanya bisa dilakukan apabila di vihara (yang ada simanya) bervasa minimal 5 bhikkhu
b. Kelima bhikkhu tersebut harus melaksanakan vassa dengan sempurna
c.
Kathina dana harus dipersembahkan di dalam masa katina yang dalam
bahasa pali disebut “Kathina Kala atau civara Masa” artinya persembahan
katina harus dilakukan di bulan Kathina atau bulan Pembuatan Jubah;
tidak boleh di lakukan sebelum Kathina kala ataupun sesudah Kathina Kala
d. Kathina Dana yang dipersembahkan umat harus berupa Kathina Dusang atau kain/bahan pembuat jubah.
e. Para bhikkhu bermusyawarah siapa yang patut menerima jubah (karena jubah katina hanya satu)
f. Pada hari itu juga kain dipotong, dijahit, dikeringkan dan harus siap dipakai pada hari itu juga
g. Sangha memberikan anumodana kepada bhikkhu yang telah menerima jubah katina
Kalau
umat mempersembahkan dana kepada Sangha pada saat Kathina Dana, bukan
berarti dana itu akan dibagi untuk 5 bhikkhu tersebut, tetapi dana
tersebut akan dipergunakan oleh semua bhikkhu dari mana pun juga.
Berdana kepada sangha berarti berdana kepada sangha yang lampau, Sangha
sekarang dan sangha yang akan datang. Dan bukan berarti berdana kepada
pribadi bhikkhu.
Dana yang dapat diberikan kepada para bhikku
yaitu 4 kebutuhan pokok (catupacaya) yaitu: pakean/jubah, makanan,
tempat tinggal dan obat-obatan. Selain itu kebutuhan penunjang lainnya
misalnya: sandal jarum, sabun alat mencukur rambut, alat tulis dll.
Riwayat terjadinya Kathina
Pada
zaman dahulu, di zaman Sang Buddha Gotama, ada serombongan 30 orang
Bhikkhu yang berjalan dari kota kecil Pava menuju Savatthi untuk
menghadap Sang Buddha, karena Sang Buddha bersemayam di kota Savatthi.
Di tengah perjalanan, rombongan bhikkhu ini berhenti karena musim vassa
telah datang. Musim vassa artinya musim hujan – yang di India dimulai
dari bulan oktober-juli sampai dengan oktober November. Karena musim
hujan sudah datang, dan Sang Buddha sudah menggariskan peraturan bahwa
selama musim hujan para bhikkhu tidak boleh bepergian, melainkanharus
tinggal disuatu tempat tertentu: sebab jalan akan menjadi becek, dan
akan menyusahkan para bhikkhu, sedangkan kalau para bhikkhu tinggal di
hutan, binatang-binatang kecil akan terganggu, maka selama 3 bulan masa
vassa tersebut para bhikkhu harus tinggal diam di suatu vihara.
Tersebutlah ke 30 orang rombongan bhikkhu ini, sebelum sampai menghadap
Sang Buddha di savati, di kota kecil Sageta, hujan sudah turun, Apa
boleh buat para bhikkhu harus bervasa di kota kecil Sageta selama 3
bulan. Setelah musim hujan berlalu walaupun kadang masih turun huja
juga, ke 30 bhikkhu ini melanjutkan perjalanan menghadap Sang Buddha.
Apa yang terjadi sesudah mereka tiba di Vihara Jetavana di Savathi,
pakean/jubah mereka menjadi compang camping oleh lumpur, juga lusuh dan
basah semuanya, sedangkan mereka tidak punya jubah pengganti. Jubah para
bhikkhu pada zaman dulu sebelum ada upacara Kathina dibuat dari
kain-kain yang dibuang. Kalau ada mayat yang akan dibakar yang ditutup
dengan kain, maka sebelum mayat tersebut dibakar, para bhikkhu megambil
kain putih tersebut kemudian dijarum sendiri untuk dijadikanjubah,
sehingga corak dari jubah itu beraneka warna. Untuk keseragaman Sang
Buddha menganjurkan untuk mencelup dengan warna yang sama.
Ketika
melihat 30 bhikkhu yang berpakaian compang camping dan berlumpur, Sang
Buddha menjadi kasihan sekali dan muncul rasa sayang yang luar biasa
kepada mereka. Kemudianada umat yang sangat berbakti Visakkha dan
Anathapindika, minta izin kepada Sang Buddha agar mengizinkan mereka
untuk mempersembhkan bahan /kain jubah yang cukup untuk 30 bhikkhu yang
kedinginan dan rusaj jubahnya. KemudianSang Buddha memberi izin. Sejak
saat itulahtimbul Upacara Kathina, yang masanya selama 1 bulan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar